Selasa, 29 April 2014

Model Pengembangan Kurikulum



1.         The Administrative (Line-Staff) Model
           Model pengembangan kurikulum yang paling awal dan sangat umum dikenal adalah model administratif, karena model ini menggunakan prosedur “garis - staf” atau garis komando “dari atas ke bawah” (top-down). Maksudnya, inisiatif pengembangan kurikulum berasal dari pejabat tinggi (Kemdiknas), kemudian secara struktural dilaksanakan di tingkat bawah. Dalam model ini, pejabat pendidikan membentuk panitia pengarah (steering committee) yang biasanya terdiri atas pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan guru-guru inti. Panitia pengarah ini bertugas merumuskan rencana umum, prinsip-prinsip, landasan  filosofis dan tujuan umum pendidikan.
2.   The Grass-Roots Model
           Inisiatif pengembangan kurikulum dalam model ini berada di tangan guru-guru sebagai pelaksana kurikulum di sekolah, baik yang bersumber dari satu sekolah maupun dari beberapa sekolah sekaligus. Model ini didasarkan pada dua pandangan pokok, yaitu : Pertama, implementasi kurikulum akan lebih berhasil apabila guru-guru sebagai pelaksana sudah dari sejak semula terlibat secara langsung dalam pengembangan kurikulum. Kedua, pengembangan kurikulum bukan hanya melibatkan personil yang profesional (guru) saja, tetapi juga siswa, orang tua, dan anggota masyarakat.
3.   The Demonstration Model
           Model ini dikembangkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kurikulum dalam skala kecil. Dalam pelaksanaannya, model ini menuntut sejumlah guru dalam satu sekolah untuk mengorganisasikan dirinya dalam memperbaharui kurikulum. Menurut Smith, Stanley dan Shores, model demonstrasi terdiri atas dua bentuk, yaitu :
a.       Dalam bentuk pertama yang cenderung bersifat formal, sekelompok guru diorganisasikan dalam suatu sekolah secara terpisah. Tugas mereka adalah mengembangkan proyek percobaan kurikulum.
b.      Dalam bentuk kedua dianggap kurang formal dibandingkan dengan bentuk pertama, karena guru-guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada membuat eksperimen di dalam area tertentu.
4.    Beauchamp’s System Model
           Sistem yang diformulasikan oleh G.A.Beauchamp (1975) dalam bukunya “Curriculum Theory”, 3d.ed., mengemukakan adanya lima langkah kritis dalam pengambilan keputusan pengembangan kurikulum, yaitu : (a) menentukan arena pengembangan kurikulum, (b) memilih dan mengikutsertakan pengembang kurikulum, (c) pengorganisasian dan penentuan prosedur perencanaan kurikulum, (d) pelaksanaan kurikulum secara sistematis; dan (e) evaluasi kurikulum.
5.    Taba’s Inverted Model
           Dikatakan terbalik karena model ini merupakan cara yang lazim ditempuh secara deduktif, sehingga model ini sifatnya lebih induktif. Model ini dimulai dengan melaksanakan eksperimen, diteorikan, kemudian diimplementasikan. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan antara teori dan praktik, serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakkan kurikulum, sebagaimana sering terjadi apabila dilakukan tanpa kegiatan eksperimental.
6.    Roger’s Interpersonal Relations Model
           Model ini berasal dari seorang psikolog Carl Rogers. Ia berasumsi bahwa  “kurikulum diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes, dan adaptif terhadap situasi perubahan”. Kurikulum demikian hanya dapat disusun dan diterapkan oleh pendidik yang terbuka, luwes dan berorientasi pada proses. Untuk itu diperlukan pengalaman kelompok dalam melatih hal-hal yang bersifat sensitif. Setiap kelompok terdiri atas 10 – 15 orang dengan seorang fasilitator atau pemimpin. Kelompok tersebut hendaknya tidak berstruktur tetapi harus menyediakan lingkungan yang memungkinkan seseorang dapat berekspresi secara bebas dan ada pula kemungkinan berkomunikasi interpersonal secara luas.
7.    The Systematic Action-Research Model
           Tiga faktor utama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini ialah adanya hubungan antar manusia, organisasi sekolah dan masyarakat, dan otoritas ilmu.
           Langkah-langkah dalam model ini adalah (a) merasakan adanya sesuatu masalah dalam kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara mendalam, (b) mengiidentifikasi  faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, (c) merencanakan secara mendalam tentang bagaimana pemecahan masalahnya, (d) menentukan keputusan-keputusan apakah yang perlu diambil sehubungan dengan masalah tersebut, (e) melaksanakan keputusan yang telah diambil dan menjalankan rencana yang telah disusun, (f) mencari fakta secara meluas, dan (g) menilai tentang kekuatan dan kelemahannya.
8.    Emerging Technical Model
           Model teknologis ini terdiri atas tiga variasi model, yaitu model analisis tingkah laku, model analisis sistem, dan model berdasarkan komputer. Model analisis tingkah laku memulai kegiatannya dengan jalan melatih kemampuan anak mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks secara bertahap. Model analisis sistem memulai kegiatannya dengan jalan menjabarkan tujuan-tujuan secara khusus (output), kemudian menyusun alat-alat ukur untuk menilai keberhasilannya, selanjutnya mengidentifikasi sejumlah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraannya. Model berdasarkan komputer memulai kegiatannya dengan jalan mengidentifikasi sejumlah unit-unit kurikulum lengkap dengan tujuan-tujuan pembelajaran khususnya.

untuk dapat mengunduh klik DISINI


(https://docs.google.com/presentation/d/1QoxUTMzVrZvG5L_fCr3RRQjwKZE5xxRf3mkTw9GwpHg/edit#slide=id.p

Konsep dan Dimensi Organisasi Kurikulum

1.  Konsep Organisasi Kurikulum
Organisasi kurikulum adalah susunan pengalaman dan pengetahuan baku yang harus disampaikan dan dilakukan peserta didik untuk menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Pengalaman tersebut ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Pengalaman langsung adalah pengalaman yang diperoleh peserta didik sebagai hasil interaksi secara langsung dengan dunia sekitarnya.
Organisai kurikulum berhubungan erat dengan kualitas kegiatan dan pengalaman belajar peserta didik. Organisasi kurikulum harus dipilih dan diatur sedemikian rupa untuk dikembangkan lebih luas dan lebih mendalam, sehingga peserta didik memperoleh sesuatu yang berharga dari program pendidikan yang telah ditetapkan.
2. Dimensi-dimensi Organisasi Kurikulum
Organisasi kurikulum mempunyai dua dimensi pokok, yaitu dimensi isi dan dimensi pengalaman belajar. Bagi pengembang kurikulum, seringkali kedua dimensi tersebut membingungkan karena tidak ada batas-batas yang tegas. Validitas beberapa kriteria sering dipersoalkan karena kenyataannya hanya digunakan untuk salah satu dimensi saja. Padahal, sifat dari setiap mata pelajaran memang berbeda.
Adapun unsur-unusr yang terdapat dalam organisasi kurikulum, antara lain :
a.  Konsep, yaitu definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Konsep merupakan definisi dari apa  yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris.
b.   Generalisasi, yaitu kesimpulan-kesimpulan yang merupakan kristalisasi dari suatu analisis. Kita harus membedakan antara kesimpulan dengan rangkuman. Banyak orang yang keliru dalam menarik kesimpulan karena apa yang dilakukannya adalah membuat rangkuman. Misalnya, setiap orang baik sebagai subjek maupun sebagai objek berperilaku secara manusiawi.
c.  Keterampilan, yaitu kemampuan dalam merencanakan organisasi kurikulum dan digunakan sebagai dasar untuk menyusun program yang berkesinambungan.
d.   Nilai-nilai, yaitu norma atau kepercayaan yang diagungkan, sesuatu yang bersifat absolut untuk mengendalikan perilaku. Misalnya, menghargai diri sendiri, menghargai kemulyaan dan kedudukan setiap orang tanpa memperhatikan ras, agama, kebangsaan, dan status sosial-ekonomi.
Untuk memperoleh materi lengkap silahkan klik DISINI

Sumber :
Arifin, Zainal (2013) Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Cetakan Ke-3, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.

http://www.4shared.com/office/hntsyzNpba/Konsep_dan_Dimensi_Organisasi_.html

Minggu, 13 April 2014

Isu-isu Dalam Organisasi Kurikulum



Beberapa pakar disiplin ilmu banyak menemukan bentuk atau model organisasi kurikulum yang berbeda, sehingga sulit untuk menghubungkan antara bentuk yang satu dengan bentuk lainnya. Upaya untuk mengintegrasikan berbagai konsep dari berbagai disiplin ilmu dalam kurikulum terpadu dinilai kurang berhasil karena kurang menarik minat peserta didik. Pada tahun1960-an pernah dilakukan terobosan pertama kurikulum terpadu melalui perluasan isi kurikulum yang memasukkan disiplin ilmu baru tetapi tujuan kurikulumnya tidak terintegrasi, akibatnya kurikulum tersebut hanya bersifat fragmentasi saja. Kurikulum pun mendapat kritikan yang tajam dari berbagai pihak.
Untuk menjawab kritikan yang bersifat fragmentasi dan tidak relevan tersebut, Peter B.Dow (1975) telah melaporkan hasil penelitiannya tentang kurikulum terpadu. Dow bersama Education Center mencoba mengorganisasikan kesempatan belajar yang dihubungkan dengan minat dan bakat peserta didik, pemeliharaan, rasa cinta kasih, ekspresi takut atau marah, perselisihan orang tua, dan sebagainya. Selanjutnya, Dow menentukan isi dari berbagai disiplin ilmu (biologi, antropologi, psikologi, sosiologi dan linguistik). Tujuannya adalah untuk membantu peserta didik memenuhi kebutuhan dan minatnya serta dalam waktu yang bersamaan peserta didik dapat memahami keunggulannya sendiri, hubungan dengan keluarga dan kebudayaan, termasuk juga menyatukan ras manusia secara keseluruhan. Namun demikian, tidak ada satu disiplin ilmu yang dapat menjawab semua persoalan kehidupan. Begitu juga sebaliknya, tidak semua persoalan kehidupan dapat dicakup hanya oleh satu disiplin ilmu. Konsekuensinya adalah setiap peserta didik harus berusaha dan mencoba mempelajari masalah pribadi dan sosial dalam berbagai perspektif, karena tak seorangpun yang mampu mengatasi masalah secara memuaskan.

Untuk memahami materi ini lebih jauh, silahkan klik DISINI
           
Sumber :
Arifin, Zainal (2013) Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Cetakan Ke-3, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.


Faktor-faktor Dalam Organisasi Kurikulum



Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam organisasi kurikulum, yaitu :
a.       Ruang lingkup (scope)
Ruang lingkup kurikulum menunjukkan keseluruhan, keluasan atau kedalaman, dan batas-batas bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Pemilihan dan penentuan ruang lingkup bahan pelajaran tentunya (a) harus melibatkan para pakar kurikulum, pakar filsafat pendidikan, guru bidang studi, pakar psikologi, sosiologi, (b) perlu mendapat masukan dari berbagai pihak sebagai bahan pertimbangan, (c) didukung oleh hasil penelitian yang relevan dan memadai.
b.      Urutan (sequence)
Urutuan bahan pelajaran menunjukkan keteraturan bahan yang akan disampaikan kepada peserta didik, kapan bahan tersebut sebaiknya disampaikan, mana bahan yang harus disampaikan terlebih dahulu dan mana bahan yang akan dipelajari kemudian.
c.       Kesinambungan (continuity)
Seringkali ada kesenjangan (gap) antara apa yang ada (das Sein) dengan apa yang seharusnya (das Sollen), tumpang tindah (overlapping) antara mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain bahkan antara topik yang satu dengan topik yang lain, dan ketidaksinambungan bahan pelajaran dan pengalaman belajar.
d.      Terpadu (integrated)
Faktor ini berangkat dari asumsi bahwa bidang-bidang kehidupan memerlukan pemecahan secara multi disiplin. Artinya, jika guru menggunakan subject-centered curriculum, maka besar kemungkinan pengetahuan yang diperoleh peserta didik menjadi terlepas-lepas dan tidak fungsional.
e.       Keseimbangan (balance)
Faktor keseimbangan yang dimaksudkan disini adalah keseimbangan isi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik dan keseimbangan proses pembelajaran.
f.       Waktu (times)
Alokasi waktu harus dipertimbangkan dalam organisasi kurikulum, dalam arti apakah suatu mata pelajaran, misalnya, akan diberikan selama 2 jam pelajaran perhari, satu minggu, satu bulan, satu semester, satu tahun atau tiap tahun. 

Untuk memahami materi ini lebih jauh, silahkan klik DISINI
Sumber :
Arifin, Zainal (2013) Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Cetakan Ke-3, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.